Belajar Pecahan bagi Anak Manapun Sama Sulitnya
Oleh : Djoko Prihatin
Tahun 2001 saya mulai bertugas di SDN Selorejo. Sebuah sekolah yang menurut saya representatif untuk KBM. Pendapat ini muncul karena sekolah saya yang baru mempunyai gedung yang mentereng dan terletak di pinggir jalan raya. Namun ketika saya mulai ditugaskan di kelas IV, ternyata pencapaian prestasi belajar siswa-siswinya sama atau relative sama dengan tempat saya bertugas di tempat terpencil. Ahli ilmu jiwa berpendapat jika anak usia SD berada pada Tahap Usia Konkret. Saya meyakini ini sebagai kebenaran karena dimanapun anak berada, apakah di kota, di desa, di daerah berfasilitas, atau daerah tanpa fasilitas, semuanya berada pada tahapan tersebut. Boleh percaya boleh tidak, saya telah mengalami bertugas mulai dari tempat paling primitif di Indonesia, di Papua, di desa dan di kota kabupaten. Dari rangkaian tempat saya mengabdi saya berkesimpulan, membelajarkan murid SD artinya memberi pengalaman langsung pada mereka untuk melihat, berbuat dan merasakan materi ajar.
Suatu ketika saya mengajar penjumlahan pecahan. Saya berikan kepada mereka cara menjumlahkan pecahan dengan memberi contoh pengerjaan operasi pecahan seperti yang biasa diberikan guru kepada murid. Yaitu dengan menyamakan penyebut kemudian menjumlahkan pembilang dengan pembilang dan penyebut yang telah sama tetap sama tidak dijumlahkan, seperti ini :
2/5 + 2/10 = 4/10 + 2/10 = 6/10
Bagi saya pada waktu itu, anak-anak pasti bisa. Sebab yang saya ajar adalah anak yang bersekolah di gedung yang mentereng dan ini ada di Jawa bukan Papua. Mereka tinggal menyamakan penyebut dengan mencari kelipatan yang sama. Kemudian mengubah pembilang sehingga bernilai sama. Ternyata beberapa anak menjawab dengan benar dan beberapa yang lain salah. Sayapun mengulang lagi kegiatan pembelajaran dan memberi soal latihan. Saya tunjuk beberapa anak secara acak untuk mengerjakan soal latihan di papan tulis. Hasilnya ?... sama ! bahkan yang menjawab benar soal latihan, masih punya anggapan kalau 2/5 lebih kecil dari 3/10. Ini berbahaya, anak tidak mengenal konsep pecahan. Ada yang benar ada yang tidak. Dan yang parah, tidak tahu asal usul jawaban sendiri. Saya nggak habis pikir, kurang jelaskah saya menerangkan ?.
Sayapun teringat apa itu Tahap Operasi Konkret. dan saya teringat peraga yang pernah saya buat untuk anak-anak Papua. Peraga yang saya gunakan untuk mengajar konsep bilangan pecahan dan operasinya. Peraga yang sangat sederhana yang bias dibuat dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Peraga ini saya buat dari plastic mika. Setiap plastic menyatakan nilai bilangan pecahan yang dinyatakan dengan besar arsir yang ada.
Kalau mau menjumlahkan suatu pecahan anak tinggal menumpuk dua kartu bilangan dengan arsir di kanan dan kartu lain arsir di kiri. Lalu anak menghitung jumlah arsir yang terbentuk. Karena plastic bersifat tembus pandang, maka ketika disusun akan terlihat arsir dari kartu bilangan lain. Itu untuk peragaan penjumlahan yang penyebutnya sama. Sedangkan untuk yang berbeda penyebut masih memerlukan bantuan kartu penyebut dalam mengoperasikan peragaan. Yang jelas anak mengerti tentang konsep bilangan pecahan, mengerti konsep operasi penjumlahan pecahan. Mereka merasa enjoy dengan hasil yang diperoleh dan kegiatan yang dirasakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar